Senin, 17 Desember 2007

Anak Indonesia, Anak yang Menakutkan

Percaya atau tidak, sepak bola U-12 kita merupakan tim paling menakutkan di dunia. Siapa sangka, anak-anak di bawah usia 12 tahun ini telah membawa sang merah putih berkibar di peringkat 4 dunia dalam ajang Danone Nations Cup (DNC). Danone Nations Cup adalah ajang festival sepak bola tahunan untuk anak-anak berusia 10-12 tahun, yang mempertandingkan tim sepak bola anak-anak terbaik dari 40 negara yang ikut berpartisipasi. Lalu, bagaimana dengan para seniornya? Mengapa mereka tidak bisa memberikan prestasi yang gemilang untuk bangsa ini? Padahal, perhatian yang diberikan kepada mereka jauh lebih baik dibandingkan adik-adik kita yang masih ABG (Anak baru gede).


Kita sangat sedih jika Tim Indonesia kalah dalam pentas sepak bola dunia. Jangankan untuk masuk Piala Dunia (World Cup), untuk menjadi juara Asean Cup saja kita masih keteteran dengan tim negara lain yang dapat dikatakan “baru merdeka kemarin”. Setiap kali kita kalah dalam kompetisi dunia, kita pasti menyalahkan pemain yang tidak bisa merebut juara. Akan tetapi, adilkah sikap kita kepada mereka yang telah berjuang untuk negara ini? Mereka juga ingin memberikan hadiah kepada negara dengan prestasi yang menggembirakan.


Jika kita sadar, pemerintah memiliki pengaruh yang besar terhadap kegagalan ini. Bagaimana tidak? Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga saja, direncanakan akan dilebur kembali dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional. Untuk mengatasi kegagalan dalam kelulusan anak sekolah dalam Ujian Akhir Nasional (UAN) sangatlah sulit, malah ingin mendidik putra-putri bangsa dalam dunia olahraga. Ditambah lagi masalah berkas ujian yang bocor. Dapat dipastikan ada kecurangan dalam Departemen Pendidikan Nasional kita. Apakah prestasi kita akan lebih baik lagi jika ditangani oleh para pemimpin yang melakukan kecurangan? “sungguh aneh pemerintah kita”.


Memang benar apa yang dikatakan oleh Menpora kita, Adhyaksa Dault.

"Biarkan Kantor Menpora berdiri sendiri untuk menangani olahraga Indonesia. Kalau masuk kembali dalam jajaran Depdiknas nanti jadi rumit. Segalanya jadi penuh dengan urusan birokrasi,". (Liputan6.com). Hal ini disampaikan sehubungan isu bakal dilakukannya reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu. Namun, Menpora menegaskan bahwa ia menyerahkan sepenuhnya kemungkinan perubahan Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga untuk di tangani Departemen Pendidikan Nasional, jika ia di reshuffle oleh presiden.


Sebenarnya keberadaan Kantor Menpora memang penting dalam penanganan olahraga setelah disahkannya Undang-Undang No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) pada bulan September tahun 2005 lalu. Saat disahkannya UU SKN itu, sebagian besar fraksi di DPR RI menekankan bahwa kebutuhan adanya regulasi mengenai pembinaan olahraga nasional telah semakin mendesak sehingga UU tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan olahraga di Indonesia.


Terbukti prestasi yang ditunjukan oleh generasi muda kita yang berusia di bawah 12 tahun, berhasil dalam turnamen Danone Nations Cup (DNC). Tidak tanggung-tanggung, di pentas ini juga Indonesia merupakan tim yang dijagokan, satu kelas dengan negara-negara yang memiliki tradisi juara dunia seperti, Brazil, Italia, Germany, Belanda dan Inggris. Sungguh prestasi yang sangat menggembirakan.


Sebut saja Irvin Museng, putra kedua dari tiga bersaudara pasangan Henky Museng dan Yenny Thaurisan asal Makassar ini memang baru saja terpilih sebagai salah satu anggota tim D1, Ajax Junior. Bersama 24 anak lainnya dari seluruh dunia, Irvin menjadi satu-satunya anak asal Asia yang sukses direkrut klub raksasa Ajax Amsterdam. Irvin menyisihkan lebih dari 3.000 anak lainnya. Berkat prestasinya, ia mampu menunjukan kepada dunia bahwa anak Indonesia merupakan anak yang hebat dan penuh prestasi.


Pemain klub Makassar Football School (MSF) kelahiran Makassar, 13 tahun lalu itu memang sudah lama jadi incaran para pencari bakat. Ajax terpincut kepiawaian Irvin menggocek si kulit bundar. Irvin diharapkan dapat menimba ilmu sepak bola di salah satu klub sepak bola tertua di Eropa itu. Klub yang sukses menciptakan sejumlah bintang sepak bola dunia, seperti Marco van Basten, Frank Rijkaard, dan Dennis Bergkamp ini rencananya mendidik Irvin selama tiga tahun.


Menurut Ruud J.C. Voll, pencari bakat yang membawa Irvin ke Ajax, pihaknya tertarik setelah menyaksikan keberhasilan Makassar Football School (MSF) di ajang Piala Dunia Danone U-12 di Lyon, Prancis, September 2005. Saat itu, kepiawaian Irvin menggiring bola sempat memukau para penonton. Bahkan Irvin memimpin rekan-rekannya menduduki posisi 10 besar dari 32 negara. MSF berhasil mengalahkan tim Belanda dengan skor telak 6-0, Kanada (3-0), dan Irlandia (6-0). Irvin sukses menjadi top scorer dengan mengemas 10 gol.


Bukan hanya Irvin saja yang pernah direkrut oleh klub-klub besar di Eropa. Melihat prestasi seperti ini, masih banyak anak-anak muda kita yang pernah merumput di negra-negara Eropa. Sebut saja Irfan Bachdim, misalnya. Ia pernah merasakan didikan tangan-tangan dingin pelatih Ajax Amsterdam pada 1999 dan Muhammad Rigan Agachi yang juga sempat berlatih di tim B klub PSV Eindhoven. Bahkan laki-laki kelahiran Jakarta, 4 Agustus 1984, sempat bermain untuk klub lokal, Victoria Durmond.


Melihat prestasi yang membanggakan ini, tidak menutup kemungkinan jika nantinya Indonesia mampu menjuarai berbagai festival olahraga tingkat dunia seperti World Cup, Asean Football Cup dan Asian Footbal Cup. Bagaimana tidak. Melihat kemajuan yang begitu pesat di dunia olahraga khusunya sepak bola, telah memberikan pandangan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan negara yang kuat dan tidak dapat dilihat sebelah mata.


Akan tetapi, kita masih memiliki segudang permasalahan dalam menciptakan pemain berbakat di Indonesia. Selain perhatian yang kurang dari pemerintah serta penyediaan fasilitas yang kalah jauh dari negara-negara lain, kita memiliki masalah yang mendasar terhadap terhambatnya karir bangsa. Sebut saja peran orang tua serta bagaimana didikan orang tua yang tidak dapat meilihat bakat dari anak-anaknya.


Ketika anak-anak memperlihatkan jati dirinya (sebut saja bakat bermain bola), maka orang tua akan melarangnya dengan alasan akan mempengaruhi nilai sekolah. Selain itu juga, mereka memliki pikiran, bahwa dunia sepak bola Indonesia tidak dapat menghasilkan apa-apa bahkan bermain bola hanya menghabiskan waktu dibandingkan dengan menuntut ilmu. Hal ini yang sulit diatasi dalam pencarian bakat anak.


Ketika anak mengalami kondisi seperti ini, maka anak akan menuruti apa kata orang tuanya. Dengan alasan takut kepada orang tua, maka hal ini akan mempengaruhi prestasi anak dalam menunjang prestasi di luar sekolah. Secara tidak sadar, orang tua kita telah melanggar hak asasi anak dalam memperoleh ilmu dan perkembangan mental anak. Mereka hanya bisa tunduk dan menerima apa kata orang tuanya.


Sebenarnya anak akan mencari minat, hobi dan aktifitasnya di luar lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan sekolah hanya menuntut anak untuk belajar dan pada saat di rumah hanya beraktifitas sehari-hari seperti makan, tidur, mengulang mata pelajaran dari guru dan bertemu keluarga. Ditambah lagi jika orang tua anak sibuk bekerja dan kurang mendapatkan perhatian yang lebih, maka anak hanya mendapatkan perhatian dari pembantu.


Orang tua yang sibuk bekerja dan tidak tahu akan keinginan anak hanya bisa berkata “ Belajar, belajar dan belajar”. Bagaimana anak dapat hidup berkembang dan mencoba mencari bakatnya sendiri jika tidak ada dukungan dari orang tua. Inilah fenomena sistem didikan dari orang tua di Indonesia. Mereka hanya ingin agar anak-anak mereka berprestasi di dunia pendidikan, padahal di luar dunia pendidikan itu sendiri masih banyak prestasi yang akan mereka raih.


Kita sangat mengharapkan agar perhatian dari pemerintah dan orang tua lebih professional dalam mendidik anak, termasuk menyalurkan minat dan hobi anak dalam pertumbuhannya. Kita tahu bahwasanya pendidikan sekolah merupakan hal utama yang harus diutamakan dalam kehidupan anak. Namun, di luar pendidikan sekolah, masih ada pendidikan lainnya yang mampu menciptakan anak agar lebih berprestasi.