Senin, 17 Desember 2007

Tenaga Kerja Wanita Juga Manusia

Umumnya sebagian besar tenaga kerja Indonesia merupakan seorang wanita. Mereka berusaha mencari pekerjaan dengan gaji yang besar untuk dapat menghidupi keluarga dan dirinya dengan mejadi buruh dan pembantu rumah tangga. Luapan rasa gembira akan mereka tampakan jika dapat merasakan hidup di negeri orang dengan target gaji yang besar.


Ketika mereka dihadapkan kepada suatu kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, maka akan membulatkan tekadnya untuk bekerja di luar negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya dalam hidup di zaman modern ini, uang adalah segalanya dan tanpa uang sulit untuk melakukan sesuatu. Ditambah lagi, dengan program pemerintah yang juga merupakan
salah satu upaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan, seakan jalan yang mulus bagi para TKW kita untuk bekerja disana.


Akan tetapi, p
rogram kerja antarnegara seharusnya mantap dan lancar, mengingat Indonesia sudah berpengalaman mengirimkan TKI ke luar negeri. Kenyataannya, masih banyak terjadi penyimpangan bersifat prosedural yang telah ditentukan pemerintah maupun akibat minimnya perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia. Tidak jarang calon TKI tersebut pada umumnya mendahulukan prospek hasil materi yang berlimpah dan mengesampingkan resiko beratnya bekerja di negara asing yang berbeda demografis dan budayanya. Faktor ekonomi biasanya menjadi alasan bagi mereka untuk berani mengambil resiko tersebut.


Sebuah masalah dilematis. Di satu pihak prospek bekerja asing sangat menggiurkan, tetapi disisi lain ada gambaran negatif yang sangat besar resikonya. Faktor pengetahuan yang kurang serta kebutuhan ekonomi dari calon TKW tidak jarang justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan hingga saat ini ada sinyalemen pengiriman TKW ke luar negeri banyak yang melalui badan-badan illegal.



Sebenarnya pengiriman TKI telah berlangsung lama jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. Hingga sekarang, pengiriman TKI masih berlangsung dengan segala permasalahan yang meliputinya. Prosedur pengiriman TKI ke luar negeri pada saat itu diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui Werving Ordonantie Stb 1936 No 650 jo. Stb 1938 No 388 tentang Peraturan Pelaksanaan Pengerahan Orang Indonesia untuk melaksanakan Pekerjaan di luar Indonesia. Prosedur melalui peraturan tersebut sampai saat ini masih berlaku, dikembangkan dengan Peraturan Menaker No 4 Tahun 1970 tentang Pengerahan TKI.


Negara-negara yang menjadi tujuan pengiriman TKI diantaranya adalah Arab Saudi, Singapura, Malaysia, Uni Emirat Arab (UEA), Hongkong, dan Brunei Darussalam. Permintaan TKI Ke luar negeri selama bulan Januari sampai April 2004 mencapai 83.999 orang terdiri atas sektor formal atau 14,81 % dan sektor informal 71.562 orang atau 85,19%. Dari jumlah tersebut untuk sektor informal lebih banyak dibutuhkan tenaga kerja perempuan (83,88%), sedangkan disektor formal kebutuhan tenaga kerja laki-laki dan perempuan hampir berimbang. Dapat dikatakan bahwa tenaga kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri mayoritas berjenis kelamin perempuan. Dengan kata lain, tenaga kerja wanita merupakan jumlah TKI terbanyak yang dikirim ke luar negeri. Dikutip dari Ditjen PPTKLN-Depnakertrans


Pengiriman TKI yang mana sebagian besarnya adalah wanita, telah membawa devisa yang lumayan untuk Indonesia. Mereka merupakan pahlawan ekonomi di negara kita. Program pengiriman ini secara langsung menambah perolehan devisa negara. Sebagai contoh misalnya, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, dalam tahun 2002 untuk sejumlah 138.205 orang dengan uang remittance TKI melalui bank peserta program antarkerja antarnegara (AKAN), yaitu BNI, BRI, Bank Mandiri, Bank Bukopin dan Bank Niaga ditambah PT Pos Indonesia sejumlah Rp 1.497.236.878.922,00.



Namun, di sisi lain berbagai persoalan muncul ketika tenaga kerja Indonesia (TKI) khususnya wanita, dikirim ke luar negeri. Pelecehan seksual, penyiksaan oleh majikan, agen penyalur ilegal, belum ada kontrak kerja yang jelas antara pihak Indonesia dengan negara tujuan, bahkan undang-undang tentang TKI masih dalam proses pembuatan (padahal undang-undang ini penting untuk perlindungan TKI dari aspek hukum). Begitu juga peran pemerintah dalam menangani masalah ini belum terlihat maksimal.


Secara umum, TKW memiliki permasalahan cukup pelik. Dari faktor individu TKW sendiri seperti skill kurang memadai, termasuk pemahaman bahasa asing, dokumen yang tidak lengkap, dan faktor majikan yang sering melakukan penganiayaan terutama kepada TKW. Selama bulan April 2004 permasalahan yang terjadi pada TKI berjumlah 7170 kasus seperti: tidak mampu bekerja, gaji tidak dibayar, penganiayaan, pelecehan seksual, majikan meninggal, pekerjaan tidak sesuai, majikan bermasalah, kecelakaan kerja, sakit, dokumen tidak lengkap. Data dikutip dari Ditjen PPTKLN-Depnakertrans.



Namun hampir 97% kasus yang dialami oleh tenaga kerja kita dialami oleh wanita Indonesia. Sebut saja 7 tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia asal Subang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga dinegara-negara Asean dan Timur Tengah, mengalami nasib yang memilukan. Selain tidak diberi gaji selama bekerja, mereka juga mengalami penyiksaan yang dilakukan majikannya. Ke-7 TKI yang mengalami nasib tragis itu adalah : Wiwin binti Kasja (20), warga kec. Pagaden, Dede Suryani Amar (19) warga kampung Rawabadak Kel. Karanganyar, Dartiah binti Tahir (21) warga kec. Legonkulon, Yeni Komala (18) warga kecamatan Subang, Ela Nurlela (19), warga kec. Subang, dan nurhayati binti Tanuri (28), warga Desa/kecamatan Pusakanegara.



Selain itu, lebih dari 10% PRT di Malaysia sudah pernah dinodai secara paksa atau dilecehkan secara seksual. Beberapa bahkan mengaku telah berkali-kali diperkosa, bahkan ada beberapa TKI yang pulang ke Indonesia dalam keadaan hamil. Hal ini yang sering terjadi dan dialami oleh para TKW kita yang bekerja disana. Jika kita tanya mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah Pemerintah Indonesia tidak dapat bertanggung jawab terhadap rakyatnya? Kita sadar bahwasanya rendahnya pengetahuan calon TKI menyebabkan mereka mudah dibodohi oleh agen penyalur ilegal. Pada umumnya TKI belum memiliki kontrak kerja yang jelas, dibandingkan dengan Tenaga Kerja dari Filipina, Kamboja dan Srilangka. Sebagian dari negara itu mengeluarkan kontrak kerja yang membatasi jumlah maksimum jam kerja, melarang majikan memperlakukan secara kasar, dan memperingatkan majikan untuk bersikap adil.


Kasus-kasus tersebut diatas, menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan seputar tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri. Analisa dan koordinasi antar departemen tentang permasalahan TKI baru mulai dilakukan. Niat baik pemerintah terlihat dalam pembuatan rancangan undang-undang yang dirumuskan bersama DPR. Dalam Rancangan Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPTKILN) menyatakan bahwa perlindungan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri dilakukan sejak pra penempatan sampai kembali ke desa asal. Biaya untuk melaksanakan program itu diambil dari iuran penyelenggara, APBN, dan APBD Kabupaten dan Kota.



Pasal 25 versi DPR menyebutkan, atase ketenagakerjaan atau pejabat perwakilan RI memiliki kewajiban melindungi TKI. Kewajiban itu antara lain melakukan koordinasi dengan perwakilan penyelenggara dan atau penyelenggara dalam penyelenggaraan penempatan pekerja. RUU versi pemerintah, Bab VII pasal 79 – 86 menyebutkan, Perlindungan untuk TKI dilaksanakan mulai pra, masa penempatan sampai purna penempatan. Perlindungan selama penempatan di luar negeri meliputi pemberian bantuan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan di negara tujuan. Perlindungan juga meliputi pembelaan atas pemenuhan hak-hak sesuai dengan perjanjian kerja dan peraturan yang berlaku di negara penempatan berkaitan dengan perlindungan.


Jika kita mengkaitkan perlindungan manusia maka hal ini tidak dapat terlepas dari hak asasi manusia (HAM). Dalam Deklarasi Internasional HAM yang telah disahkan oleh Majelis Umum PBB tahun 1948, menjelaskan bagaimana PBB menjaga dan memberikan perlindungan kepada masyarakat dunia terhadap pelanggaran HAM seperti apa yang telah dialami oleh TKW kita. Akan tetapi, walaupun sudah bertahun-tahun sejak lahirnya deklarasi ini, nasib TKW kita masih mengambang dan tidak tahu sampai kapan mereka dapat dilindungi oleh hukum yang berlaku.


Melihat perjuangan para TKI yang mana sebagian besarnya merupakan seorang wanita, seharusnya pemerintah kita harus dapat memberikan perlindungan bukan menyengsarakan. Mereka yang telah menjadi pahlawan seperti halnya seorang Kartini dalam membangun negara, seakan dijadikan budak yang dianggap hewan bagi sang penguasa. Dengan semangat perjuangan Katini ini, kita bangun Negara Indonesia dengan sikap adil hingga mampu menciptakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.